Warga Purworejo Gelar Ritual untuk Sambut Datangnya Bulan Suro – Masyarakat Purworejo, Jawa Tengah mengadakan ritual untuk menyongsong datangnya bulan Suro/Muharam. Ritual yang bermanfaat untuk tolak bencana itu bahkan juga telah dikerjakan dengan turun temurun semenjak beberapa ratus tahun yang lalu.
Untuk mengusir petaka, beberapa ratus masyarakat Dusun Sembir, Desa Bugel, Kecamatan Bagelen, mengadakan kebiasaan unik yaitu Kenduri Kupatan pada Jumat (7/9/2018). Ritual yang telah berusia beberapa ratus tahun itu sampai sekarang masih tetap selalu dilestarikan serta dikerjakan di hari spesifik mendekati bulan Muharam atau Suro.
Sesepuh desa ditempat, Sutarto (79) menjelaskan jika kebiasaan itu menyengaja diselenggarakan untuk menampik petaka. Beberapa ratus masyarakat dari mulai anak-anak, dewasa, lelaki ataupun wanita, duduk bersila di perempatan jalan kampung yang dulunya jadi pusat ritual itu pertama-tama dikerjakan.
“Memang ritual ini dikerjakan untuk menampik bencana atau petaka. Dahulu awalannya dikerjakan di perempatan sini oleh nenek moyang kami karena tempat ini adalah pertengahan kampung,” katanya Jumat (7/9/2018) sore.
Dikisahkan oleh Sutarto, pada tahun 1917 masyarakat desa itu alami penyakit aneh yang mematikan. Sehari-hari tetap saja ada yang wafat serta membuat masyarakat lainnya ketakutan.
“Masyarakat sini dahulu mengatakan menjadi pageblug atau petaka berbentuk kematian yang terus-terusan. Jika sore ada yang sakit karena itu paginya wafat, bila pagi sakit karena itu sorenya akan wafat, demikian selanjutnya,” papar Sutarto.
Untuk bersihkan petaka yang menempa desa saat beberapa bulan itu, akhirya seseorang kiai kampung bernama Kiai Marjuki lalu lakukan satu tirakat serta memperoleh panduan untuk membuat ruwatan bersih desa. Ruwatan dikerjakan sama dengan panduan yang sudah didapat Sang Kiai.
“Ruwatannya saat itu langsung membuat ketupat dengan jumlahnya ganjil, dapat 7 atau 9. Lalu menyembelih kambing kendit jantan serta kepalanya dikubur di tengahnya kampung sini serta ke empat kakinya dikubur di empat pelosok mata angin,” lanjutnya.
Tidak hanya membuat ketupat serta menyembelih kambing, kiai Marjuki juga berkeliling-keliling kampung dengan memanjatkan doa. Pada akhirnya, kurun waktu beberapa waktu pageblug juga hilang dari desa itu.
“Sampai saat ini kebiasaan kupatan ini masih tetap kami lestarikan tiap-tiap tahun, walau tiada menyembelih kambing lagi. Hari pelaksnaanya umumnya hari Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon sebelum masuk bulan Muharam atau Suro,” tambah sesepuh desa itu.
Masyarakat yang sejak dari barusan duduk bersila penuhi perempatan kampung itu, baru dapat nikmati ketupat yang dikemas dalam ancak atau tempat dari pelepah pisang sesudah doa tuntas dipanjatkan oleh sesepuh desa. Sesudah doa diamini, masyarakat juga ramai-ramai melahap ketupat dengan sayur serta lauk pauk seadanya.