Alasan Ekonomi Untuk Pelarian Miras Oplosan – Tewasnya beberapa puluh orang karna minuman keras (miras) oplosan di Kabupaten Bandung serta beberapa Jabodetabek jadi titik hitam peredaran miras ilegal di Indonesia. Pengamat menilainya ketentuan peredaran minuman keras yang terlalu ketat menyebabkan meningkatnya peredaran miras oplosan.
Sosiolog Universitas (UI) Indonesia Paulus Wirutomo mengatakan tingginya peredaran miras ilegal ini karna pemerintah tutup rapat keran peredaran miras sah. Beberapa kelompok warga terasa kesusahan dengan finansial untuk beli miras sah jadi mereka mencari barang ilegal.
Paulus sebutkan penenggak miras bisa digolongkan dari tradisi serta tingkat ekonomi. Dengan tradisi mereka ada yang sebatas hoby, pecandu, sampai peminum karna pergaulan. Sedang dengan tingkat ekonomi, mereka dikelompokkan dari tingkat pendapatan, ada yang belum juga berumur produktif, kelas bawah, kelas menengah, sampai kelas atas.
Ketentuan pemerintah sekarang ini cuma sangat mungkin minuman keras untuk dibuka oleh kelas menengah serta kelas atas. Kelas bawah serta kelompok belum juga produktif tidak bisa membuka karna harga yang sangat mahal. Mereka-pun beroleh jalan keluar dengan beli miras oplosan.
” Harusnya pemerintah lebih bijaksana dalam mengatur peredaran miras. Peredaran miras sah tidak dapat di lihat hitam putih, mesti ada ruangan ada rentetan sosiologis, ” kata Paulus.
Latar belakang penenggak minuman keras bisa jadi kajian sendiri. Menurut dia ada sebabnya sosiologis seorang sampai memastikan untuk nikmati minuman keras. Biasanya persoalan ekonomi serta psikologis jadi latar belakangnya. Maka dari itu, kata dia, persoalan peredaran miras tidak dapat dikerjakan dalam satu saat dengan larangan.
Larangan peredaran minuman keras sendiri mengemuka sejak mulai DPR menggelindingkan rancangan UU larangan minuman keras pada 2015 lantas tapi belum juga usai sampai saat ini. Ketentuan peredaran minuman keras sekarang ini ditata dalam Perpres No. 74 th. 2013 perihal pengendalian serta pengawasan minuman mengandung alkohol. Ketentuan ini masih tetap memberikannya ruangan akses penjualan minuman keras berdasar pada kelompok serta minuman keras tradisionil yang ditata oleh kepala daerah untuk kebutuhan kebiasaan serta keagamaan.
Tetapi peredaran miras makin sempit dengan Ketentuan Menteri Perdagangan Nomor 6 Th. 2015 Perihal Pengendalian serta Pengawasan Pada Pengadaan, Peredaran, serta Penjualan Minuman Mengandung alkohol. Ketentuan itu melarang penjualan miras di gerai minimarket.
Instansi Kajian serta Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) PWNU Jakarta sempat mempelajari tingkah laku peminum miras di Jakarta pada rentang Februari-Maret 2017. Sebanyak 71, 5 % penenggak miras condong mencari minuman oplosan warung jamu sesudah ada ketentuan menteri perdagangan masalah larangan penjualan miras di minimarket.
Sedang 14, 3 % mencari di toko kelontong serta 7, 1 % beli lewat penghubung. Parahnya dari semua responden yang mereka jumpai, 65, 3 % salah satunya masih tetap ada dibawah usia.
Survei Lakpesdam ini melibatkan 327 responden remaja berumur 12-21 th.. Responden diambil dengan secara acak bertingkat, pengacakan kecamatan, kelurahan, serta rukun tetangga (RT) dengan tingkat keyakinan 94, 5 % serta margin of error 5, 2 %.
Bahaya miras oplosan sendiri telah makan korban di banyak daerah sesudah kepala daerah lakukan larangan peredaran miras sah. Data Center For Indonesian for Policy Studies (CIPS) pada 2016 tunjukkan angka korban miras oplosan bertambah mencolok di daerah saat larangan oleh kepala daerah.
CIPS lakukan kajian wawancara pada 2016 atas peredaran miras oplosan di enam kota, yaitu Cirebon, Depok, Malang, Medang, Palembang serta Yogyakarta (termasuk juga di kabupaten Sleman serta Bantul) . Mereka rata-rata pilih miras oplosan karna harga miras sah melonjak sampai 2 x lipat saat larangan miras oleh kepala daerah. Dan hilangnya pada alkohol sah buat makin ramainya pasar gelap.
Instansi itu juga lakukan kajian kabar berita atas korban jiwa karna miras ilegal. Kematian karena miras ilegal bertambah tajam pada rentang 2013-2016 (487 korban jiwa) dibanding rentang 2008-2012 (149 korban jiwa) .